Selasa, 04 Agustus 2009

MBAH SURIP

Rabo 3 Agustus 2008, di sebuah warnet di bilangan demangan jogja, sekitar pukul setengah sepuluh saya membaca status seorang teman di FB, mbah surip telah berpulang. Saya langsung cek ke detik.com untuk memastikan ini bukan hoax. Ternyata detik juga melaporkan hal serupa. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, mbah surip telah meninggal dunia. Sontak saya menghela nafas, mengelus dada, menyadari bahwa batas kehidupan dan kematian benar sangat tipis adanya. Hari sebelumnya mbah surip masih tampak ceria tampil di beberapa acara tv, sekarang Yang Maha Kuasa telah mengambilnya. Hal yang sama juga sangat mungki terjadi pada kita. Sekarang tertawa, besok mungkin kaku membeku kemudian dimakamkan.

Mbah Surip berada di puncak ketenaran, sehingga ketika beliau meninggal, banyak yang melayat, mendoakan serta turut memekamkan. Bagaimana apabila seorang rifqie yang meninggal dunia? Berapa dari teman saya yang akan melayat dan turut mendoakan? Apalah artinya seorang rifqie bagi dunia ini, saya tidak punya sumbangsih apapun bagi dunia ini, bukan pula pengukir sejarah yang kemungkinan besar ketika meninggal, namanya masih hidup dalam literatur. Mungkin dalam hitungan jam setelah saya berpulang, saya akan dilupakan, kehidupan akan diteruskan, waktu akan terus berputar, keceriaaan juga akan diperbaharui dari waktu ke waktu. Bagaimana dengan Anda sekalian? Apakah sudah siap untuk dikebumikan kemudian di lupakan begitu saja?

Kematian itu dekat dan pasti, kesiapan kita menghadapinya menjadi variabel mutlak yang harus diperjuangkan mulai detik ini, saya mungkin akan segera dilupakan ketika meninggal, karena waktu memang melupakan segalanya, tapi saya akan memaksimalkan usaha saya untuk memastikan ketika saya meninggal kelak, saya punya bekal yang cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar